CHAPTER 1:
SEINDAH MATA KRISTALNYA
SEINDAH MATA KRISTALNYA
Malam bergulir perlahan. Detak jarum jam dinding di kamarku terdengar jelas. Kota Jakarta terlelap dalam tidur. Hanya sesekali terdengar raungan kendaraan. Menggerung keras lalu lenyap ditelan kesunyian.
Pukul dua dinihari.
Aku menyeka sebuah luka memar di sekitar kelopak mataku dengan air hangat. Bekas luka pukulan itu, setelah seminggu perlahan-lahan mulai hilang.
Kini aku menatap wajahku sendiri di dalam cermin. Kenapa itu kamu lakukan, Renaldi? Kenapa kamu mati-matian membela gadis itu? Kenapa kamu tidak pernah berkompromi kepada seseorang yang telah membuat mata bening milik gadis itu mempunyai pesona lain dalam hatimu, Renaldi? Ataukah, kamu mempunyai perasaan khusus pada gadis itu yang sampai saat ini masih kamu sembunyikan? Yang sampai detik ini tidak pernah kamu ungkapkan?!
Pukul dua dinihari.
Aku menyeka sebuah luka memar di sekitar kelopak mataku dengan air hangat. Bekas luka pukulan itu, setelah seminggu perlahan-lahan mulai hilang.
Kini aku menatap wajahku sendiri di dalam cermin. Kenapa itu kamu lakukan, Renaldi? Kenapa kamu mati-matian membela gadis itu? Kenapa kamu tidak pernah berkompromi kepada seseorang yang telah membuat mata bening milik gadis itu mempunyai pesona lain dalam hatimu, Renaldi? Ataukah, kamu mempunyai perasaan khusus pada gadis itu yang sampai saat ini masih kamu sembunyikan? Yang sampai detik ini tidak pernah kamu ungkapkan?!
***
"Hei, Janna. Kamu tahu tidak kenapa aku sampai saat ini terus memanggilmu, Kristal?" Suatu hari enam bulan lalu menjelang pelajaran matematika aku membisikkan kalimat itu.
Janna menatapku.
"Karena aku anak Mama yang ke mana pun pergi selalu diantar dan dijaga?" sahut Jannya yakin.
Aku menggeleng sembari tersenyum.
"Karena aku merupakan kaum hawa, yang sering diidentikkan oleh kaummu sebagai penghias dunia kan?" Janna melirikku. Membuka tas sekolah dan mengeluarkan diktat.
Aku tertawa. Lantas menggeleng.
"Dih, memangnya aksesoris?" ledekku.
Janna mengernyitkan keningnya.
"Karena aku seorang gadis yang hatinya mudah patah berkeping-keping seperti kristal?" pancingnya, bertanya.
Lagi-lagi aku menggeleng.
"Apaan dong, Re?" Janna penasaran. Menatapku beberapa saat, menanti jawaban yang akan keluar dari mulutku.
"Karena kamu mempunyai mata bagus dan sebening kristal," jawabku kemudian sembari menikmati mata indah milik gadis itu.
Janna membelalak. Mencubitku gemas sambil menggigit bibirnya sendiri.
"Jujur, Na. Matamu bagus. Bening bak telaga. Juga teduh. Malah kadang-kadang aku sering berkaca di bola matamu itu," kubiarkan wajah Janna tersipu-sipu.
Tinggi semampai, wajah terkesan aristokrat, dan bermata bagus, itu kesan pertama ketika aku mengenal Janna. Ia memang favorit di sekolahku. Ramah dan supel. Kesannya yang cuek dan tidak pernah memilih-milih teman, membuat Janna tumbuh menjadi cewek favorit di SMA-ku.
"Kamu tahu apa yang ada di dalam hatiku saat ini, Kristal?" Mataku menatap lurus ke depan. Memperhatikan Pak Tito yang mulai sibuk memeriksa pe-er yang diberikan hari kemarin.
"Apa, Re?" bisik Janna lirih.
"Aku tidak ingin seorang pun yang akan melukai mata bagus itu." Aku tersenyum. Melindungi kupingku dari cubitan Janna dengan buku diktat.
"Trims, Re. Kamu memang sahabatku yang terbaik." Tanpa melirikku, Janna meluncurkan kalimat itu.
Keakrabanku dengan Janna, sudah terjalin sejak kelas satu SMA. Malah sebagaian teman-teman menyangka kalau Janna adalah cewekku. Tetapi aku tidak pernah berpikir untuk itu. Tekadku waktu itu hanya satu. Aku ingin menjadi sahabat Janna yang terbaik. Tanpa menodai rasa persahabatanku itu dengan perasaan cinta yang sering berakhir dengan kebencian. Aku tak ingin hal itu terjadi. Aku hanya ingin melihat mata kristal Janna itu terus bersinar cerah. Bibir sensualnya terus berceloteh riang. Itu saja keinginanku. Meskipun aku sempat menangkap sinyal kalau sebenarnya Janna sering memberiku lampu hijau untuk mengubah persahabatan itu menjadi hubungan yang lebih khusus. Tetapi ternyata aku ragu. Takut kalau suatu saat aku melukai hati Janna. Takut kalau suat saat aku akan menorehkan sembilu di hati gadis itu dan membuat mata kristal miliknya berubah kelabu. Sampai suatu saat Janna mengatakan padaku kalau Bian, anak II.3.B, yang sejak kelas satu mengejarnya dengan sabar, telah menjadi bagian dari hari-hari Janna.
Setelah hal itu terjadi, di hati kecilku, tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang hilang. Dan aku yakin sesuatu itu adalah Janna.
Janna menatapku.
"Karena aku anak Mama yang ke mana pun pergi selalu diantar dan dijaga?" sahut Jannya yakin.
Aku menggeleng sembari tersenyum.
"Karena aku merupakan kaum hawa, yang sering diidentikkan oleh kaummu sebagai penghias dunia kan?" Janna melirikku. Membuka tas sekolah dan mengeluarkan diktat.
Aku tertawa. Lantas menggeleng.
"Dih, memangnya aksesoris?" ledekku.
Janna mengernyitkan keningnya.
"Karena aku seorang gadis yang hatinya mudah patah berkeping-keping seperti kristal?" pancingnya, bertanya.
Lagi-lagi aku menggeleng.
"Apaan dong, Re?" Janna penasaran. Menatapku beberapa saat, menanti jawaban yang akan keluar dari mulutku.
"Karena kamu mempunyai mata bagus dan sebening kristal," jawabku kemudian sembari menikmati mata indah milik gadis itu.
Janna membelalak. Mencubitku gemas sambil menggigit bibirnya sendiri.
"Jujur, Na. Matamu bagus. Bening bak telaga. Juga teduh. Malah kadang-kadang aku sering berkaca di bola matamu itu," kubiarkan wajah Janna tersipu-sipu.
Tinggi semampai, wajah terkesan aristokrat, dan bermata bagus, itu kesan pertama ketika aku mengenal Janna. Ia memang favorit di sekolahku. Ramah dan supel. Kesannya yang cuek dan tidak pernah memilih-milih teman, membuat Janna tumbuh menjadi cewek favorit di SMA-ku.
"Kamu tahu apa yang ada di dalam hatiku saat ini, Kristal?" Mataku menatap lurus ke depan. Memperhatikan Pak Tito yang mulai sibuk memeriksa pe-er yang diberikan hari kemarin.
"Apa, Re?" bisik Janna lirih.
"Aku tidak ingin seorang pun yang akan melukai mata bagus itu." Aku tersenyum. Melindungi kupingku dari cubitan Janna dengan buku diktat.
"Trims, Re. Kamu memang sahabatku yang terbaik." Tanpa melirikku, Janna meluncurkan kalimat itu.
Keakrabanku dengan Janna, sudah terjalin sejak kelas satu SMA. Malah sebagaian teman-teman menyangka kalau Janna adalah cewekku. Tetapi aku tidak pernah berpikir untuk itu. Tekadku waktu itu hanya satu. Aku ingin menjadi sahabat Janna yang terbaik. Tanpa menodai rasa persahabatanku itu dengan perasaan cinta yang sering berakhir dengan kebencian. Aku tak ingin hal itu terjadi. Aku hanya ingin melihat mata kristal Janna itu terus bersinar cerah. Bibir sensualnya terus berceloteh riang. Itu saja keinginanku. Meskipun aku sempat menangkap sinyal kalau sebenarnya Janna sering memberiku lampu hijau untuk mengubah persahabatan itu menjadi hubungan yang lebih khusus. Tetapi ternyata aku ragu. Takut kalau suatu saat aku melukai hati Janna. Takut kalau suat saat aku akan menorehkan sembilu di hati gadis itu dan membuat mata kristal miliknya berubah kelabu. Sampai suatu saat Janna mengatakan padaku kalau Bian, anak II.3.B, yang sejak kelas satu mengejarnya dengan sabar, telah menjadi bagian dari hari-hari Janna.
Setelah hal itu terjadi, di hati kecilku, tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang hilang. Dan aku yakin sesuatu itu adalah Janna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar